Saturday , 20 May 2024
Kirim Artikel

Diskursus dalam tren Aura Farming Ketika Citra Diri Jadi Lahan Kekuasaan di Media Sosial ( Foucault )

  • November 4, 2025
  • 0

Akhir-akhir ini, istilah “aura farming” lagi ramai banget di media sosial TikTok dan Instagram. Banyak orang berlomba-lomba biar kelihatan punya aura yang keren, cerah, dan positif. Entah lewat

Akhir-akhir ini, istilah “aura farming” lagi ramai banget di media sosial TikTok dan Instagram. Banyak orang berlomba-lomba biar kelihatan punya aura yang keren, cerah, dan positif. Entah lewat outfit, senyum, atau cara mereka ngomong, semuanya yang mereka buat itu seolah olah biar terlihat menarik di mata orang lain. Tapi kalau yang saya lihat, tren ini bukan hanya soal gaya atau pencitraan. Tapi Ada hal yang lebih dalam yang harus kita ketahui yaitu bagaimana media sosial membentuk cara kita melihat diri sendiri dan orang lain.

Beberapa waktu lalu, media media berita juga banyak yang sempat membahas soal aura farming ini. Salah satunya pada media berita antara news di situ dijelaskan bahwa tren yang lagi hits ini sebenarnya lahir dari keinginan orang untuk menonjolkan “energi positif” di dunia digital. Nah, menariknya lagi, budaya yang lagi tren ini juga punya akar lokal.  Yang dimana pada media Indonesia  menjelaskan bahwasanya semangat yang sama bisa dilihat di festival Pacu Jalur di Riau. Di sana, “aura” yang muncul bukan karena filter atau kamera yang bagus, tapi dari kekompakan dan semangat peserta saat mendayung bersama. Aura yang muncul alami dari budaya, bukan dari algoritma orang orang.

Tapi sayangnya, di dunia maya atau di sosial media makna dari aura itu sering berubah yang diamana publik itu mulai melihat aura sebagai tanda kesuksesan, seperti siapa yang paling percaya diri, paling glowing, dan paling sering disukai. Yang Artinya, media sosial itu pelan-pelan bisa mengatur standar baru soal “aura” yang bagus padahal itu cuma konstruksi visual, bukan kenyataan.

Kalau dari Michel Foucault, filsuf asal Prancis yang membahas tentang soal diskursus dan kekuasaan, situasi ini menarik banget. Foucault pernah mengatakan, kekuasaan itu nggak selalu terlihat dalam bentuk paksaan, tapi justru bekerja lewat wacana  lewat hal-hal yang kita anggap itu “normal”. Tapi yang saya bahas dalam kasus aura farming, kekuasaan itu muncul dari algoritma, tren, dan komentar orang. Jadi semua itu secara halus ngatur cara kita berpakaian, berekspresi, bahkan merasa percaya diri.

Tapi tidak semua orang ingin mengikuti arus. Ada juga yang menggunakan tren ini hanya untuk menonjolkan identitas dan budaya lokal. Misalnya, kreator yang menggunakan pakaian tradisional, tarian daerah, atau simbol kearifan lokal buat nunjukin auranya. Mereka tidak hanya “ikut gaya”, tapi malah melawan standar kecantikan dan kesuksesan yang dibentuk media. Nah, dari sana terbentuk resistensi kecil terhadap dominasi media.

Refleksi Kritis dan Rumusan Tindakan Praksis

Jadi, jika dilihat dari sisi positifnya, aura farming bisa menjadi ruang edukasi budaya juga. Orang bisa sadar kalau banyak tren di media sosial sebenarnya punya akar dari budaya kita sendiri, bukan sekadar ikut-ikutan gaya luar negeri. Dengan begitu, kita bisa tetap tampil percaya diri tapi juga tahu maknanya. Nggak cuma ikut tren, tapi juga paham dari mana tren itu datang.

Media sosial memang bukan cuma tempat untuk pamer, tapi juga tempat di mana kekuasaan dan makna saling tarik-menarik. Aura farming memberi kita Pelajaran menjadi pengguna media sosial itu bukan hanya soal tampil bagus, tapi juga soal jadi diri sendiri yang sadar makna. Karena pada akhirnya, aura paling kuat itu bukan dari filter atau cahaya kamera, tapi dari pemahaman kita terhadap budaya dan diri sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *