Fraud adalah tindakan ilegal atau tidak etis yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang atau kelompok, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan atau keuntungan finansial yang tidak sah atau merugikan orang lain. Fraud dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan lingkup, baik di dalam maupun di luar perusahaan, dan dapat melibatkan berbagai jenis kegiatan atau transaksi. ACFE Global (Association of Certified Fraud Examiners) adalah sebuah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1988 oleh Joseph T. Wells, seorang pakar dalam bidang fraud examination (pemeriksaan fraud) dan forensik akuntansi. ACFE Global bermarkas di Austin, Texas, Amerika Serikat, dan memiliki lebih dari 85.000 anggota di seluruh dunia. ACFE Global bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan standar dalam pencegahan, deteksi, penanganan, dan pencegahan fraud melalui pendidikan, pelatihan, dan advokasi. Organisasi ini menawarkan berbagai program sertifikasi, pelatihan, dan sumber daya untuk membantu profesional dalam bidang pemeriksaan fraud dan forensik akuntansi untuk mengembangkan keterampilan mereka dan memperoleh sertifikasi yang diakui secara internasional. Hasil survei dan penelitian ACFE Global menunjukkan bahwa setiap tahun rerata 5 persen dari pendapatan organisasi menjadi korban fraud. Di dalam situs Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), perusahaan swasta bahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak terlepas dari risiko fraud. Hal itu terlihat dari kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat BUMN meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. Pada akhirnya, pengendalian fraud menjadi tanggung jawab perusahaan. Guna menguatkan budaya anti-fraud di perusahaan, maka perlu beberapa program antara lain, penguatan kode etik, peningkatan kesadaran terhadap aktivitas fraud, sikap pemimpin, dan sosialisasi anti fraud, baik kepada internal maupun eksternal perusahaan. Tak hanya itu, untuk menangkal tindak kecurangan laporan keuangan dan memudahkan pengungkapan aktivitas terindikasi korupsi, organisasi bisnis juga perlu merancang sistem pengendalian risiko fraud secara spesifik. Menurut ACFE Global (Association of Certified Fraud Examiners), terdapat beberapa jenis kasus fraud yang paling umum terjadi di berbagai sektor dan industri, antara lain: Penipuan (misrepresentation): Penipuan terjadi ketika seseorang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menyesatkan untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat. Contohnya adalah penjualan produk palsu atau pengajuan klaim asuransi palsu. Penggelapan aset (misappropriation of assets): Penggelapan aset terjadi ketika seseorang mengambil atau menggunakan aset perusahaan tanpa persetujuan atau izin. Contohnya adalah pencurian uang atau penggunaan kartu kredit perusahaan untuk kepentingan pribadi. Pencucian uang (money laundering): Pencucian uang terjadi ketika seseorang mengubah atau menyembunyikan uang yang didapat dari tindakan ilegal atau tidak sah agar terlihat berasal dari sumber yang sah. Contohnya adalah memberikan donasi palsu atau membeli properti dengan uang hasil tindak kejahatan. Korupsi (corruption): Korupsi terjadi ketika seseorang memanfaatkan kekuasaan atau posisinya untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain secara tidak sah. Contohnya adalah suap atau pungutan liar. Insider trading: terjadi ketika seseorang memperoleh informasi rahasia atau tidak publik mengenai suatu perusahaan dan menggunakan informasi tersebut untuk memperoleh keuntungan atau menghindari kerugian dalam transaksi saham atau investasi yang terkait dengan perusahaan tersebut. Manipulasi laporan keuangan (financial statement fraud): Manipulasi laporan keuangan terjadi ketika seseorang memanipulasi informasi keuangan perusahaan dengan tujuan untuk menipu investor atau pihak lain. Contohnya adalah memalsukan laporan keuangan, menyembunyikan kerugian, atau mengalihkan pendapatan ke rekening pribadi. Pelanggaran etika (ethical violations): Pelanggaran etika terjadi ketika seseorang melanggar prinsip etika dan moral dalam melakukan bisnis atau pekerjaan. Contohnya adalah melakukan diskriminasi atau menyalahgunakan kepercayaan klien atau pelanggan. Kejahatan cyber (cybercrime): Kejahatan cyber terjadi ketika seseorang menggunakan teknologi informasi untuk melakukan kejahatan, seperti pencurian data, pencurian identitas, atau serangan virus komputer. Pelanggaran regulasi (regulatory violations): Pelanggaran regulasi terjadi ketika seseorang melanggar aturan atau peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga pengawas. Contohnya adalah melanggar aturan lingkungan, perpajakan, atau tenaga kerja. Penipuan tenaga kerja (employee embezzlement): Penipuan tenaga kerja terjadi ketika karyawan atau pegawai menggunakan posisi atau akses mereka untuk melakukan penipuan atau penggelapan terhadap perusahaan. Contohnya adalah mengambil uang dari kas perusahaan atau menyalahgunakan kartu kredit perusahaan.
Pada tahun 2019, Facebook dan Google dituduh melakukan fraud senilai US$ 122 juta terhadap perusahaan teknologi Quibi. Quibi mengajukan gugatan terhadap Facebook dan Google, mengklaim bahwa keduanya telah memanipulasi data iklan untuk menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Quibi, sebuah platform streaming video yang diluncurkan pada April 2020, menuduh Facebook dan Google telah memperlihatkan data iklan palsu yang menunjukkan bahwa iklan mereka ditayangkan di perangkat mobile yang lebih banyak daripada perangkat desktop. Namun, menurut Quibi, data ini tidak akurat dan mengakibatkan Quibi membayar lebih banyak untuk iklan yang sebenarnya tidak ditayangkan di perangkat mobile. Quibi mengajukan gugatan di pengadilan federal di California, Amerika Serikat, dan menuduh Facebook dan Google melanggar Undang-Undang Perdagangan Komisi Federal (Federal Trade Commission Act) dan Undang-Undang Racketeer Influenced and Corrupt Organizations (RICO Act). Quibi juga menuntut ganti rugi sebesar US$ 122 juta dari Facebook dan Google. Facebook dan Google membantah tuduhan Quibi dan menyatakan bahwa mereka telah memberikan data iklan yang akurat dan transparan kepada Quibi. Namun, pada Desember 2020, Facebook dan Google setuju untuk mencapai kesepakatan luar pengadilan dengan Quibi dan membayar ganti rugi sebesar US$ 120 juta. Kesepakatan ini menyelesaikan gugatan antara Quibi dengan Facebook dan Google terkait kasus fraud senilai US$ 122 juta. Esvaldas Rimasauskas, didakwa melakukan tindak kejahatan pencurian identitas, penipuan finansial, dan pencucian uang sepanjang 2013-2015. Pria asal Lithuania itu melakukan penipuan terhadap dua perusahaan teknologi raksasa asal Amerika Serikat (AS), Facebook dan Google. Pria berusia 50 tahun tersebut melakukan penipuan dengan total kerugian mencapai US$ 122 juta. Masing-masing Facebook US$ 99 juta dan Google US$ 23 juta. Esvaldas melancarkan aksinya dengan metode Business Email Compromise (BEC). Ia mengirimkan tagihan kepada kedua perusahaan menggunakan email beridentitas Quanta Computer, perusahaan manufaktur di Taiwan, lengkap dengan dokumen dan surat kontrak yang dipalsukan. Facebook dan Google percaya tagihan itu dan mengirimkan uang. Namun pada 2017, aksi itu ketahuan dan Esvaldas akhirnya dijatuhi hukuman. Fraud dengan metode BEC ini disebut-sebut tak hanya dialami oleh Facebook dan Google. Berdasarkan data FBI, total kerugian yang dialami perusahaan di seluruh dunia melalui penipuan BEC mencapai US$ 12,5 miliar. Modus operandi yang dilakukan umumnya ialah membajak email dan mengirimnya seakan asli dari mitra bisnis perusahaan. Kasus fraud yang dialami Facebook dan Google ini merupakan salah satu contoh kasus fraud jenis Aset misappropriation. Kasus ini merupakan contoh kasus fraud jenis Aset misappropriation di mana pelaku melakukan tindakan pencurian identitas dan penipuan finansial untuk memperoleh uang secara tidak sah dari Facebook dan Google. Pelaku menggunakan metode Business Email Compromise (BEC) dengan mengirimkan tagihan palsu yang terlihat asli dan meyakinkan kepada kedua perusahaan. Setelah tagihan diterima, Facebook dan Google kemudian mengirimkan uang kepada pelaku. Kasus ini menunjukkan pentingnya penerapan mekanisme pengawasan dan kontrol yang ketat dalam menghindari tindakan fraud, serta kehati-hatian dalam melakukan transaksi keuangan dengan pihak lain.
Kasus fraud ini juga terjadi di Indonesia seperti Kasus BLBI: Pada tahun 2021, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, divonis 1 tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait penyelesaian utang Bank Indonesia Liquidity Support (BLBI) pada tahun 2004. Kasus ini merupakan salah satu kasus korupsi terbesar di Indonesia dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 4,58 triliun. Kasus BLBI terkait dengan tindakan fraud yang melibatkan sejumlah pejabat dan pengusaha pada saat penyelesaian utang Bank Indonesia Liquidity Support (BLBI). BLBI merupakan program pemberian kredit oleh Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas pada periode krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an. Dalam kasus ini, Miranda Goeltom, mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, divonis bersalah karena terlibat dalam tindak pidana korupsi terkait penyelesaian utang BLBI pada tahun 2004. Ia diduga menerima suap senilai Rp 500 juta dari salah seorang pihak yang terkait dengan program BLBI. Selain itu, ada pula dugaan bahwa Miranda Goeltom dan sejumlah pejabat Bank Indonesia lainnya telah mengabaikan prosedur pengawasan dan kontrol yang ketat dalam penyelesaian utang BLBI, sehingga terjadi penyalahgunaan kredit dan tindakan fraud. Dalam kasus BLBI, tindakan fraud yang dilakukan meliputi manipulasi data dan laporan keuangan, tindakan korupsi, dan penipuan terkait penyelesaian utang. Tindakan manipulasi data dan laporan keuangan ini dilakukan untuk mendapatkan kredit dari program BLBI secara tidak sah. Sementara itu, tindakan korupsi dan penipuan terkait penyelesaian utang ini merugikan negara dan masyarakat secara luas.
Namun, secara umum, kasus fraud menunjukkan betapa pentingnya penerapan mekanisme pengawasan dan kontrol yang ketat dalam menghindari tindakan fraud, terutama dalam penyelesaian utang dan distribusi dana dalam program pemberian kredit. Selain itu, pemeriksaan dan pengawasan yang ketat dari pihak yang berwenang juga diperlukan untuk mencegah adanya tindakan korupsi dan penyalahgunaan kredit. Tindakan fraud dapat terjadi di berbagai sektor dan industri, termasuk di sektor keuangan dan perbankan, dan dapat merugikan banyak orang, termasuk perusahaan, masyarakat, dan negara. Oleh karena itu, kesadaran dan pemahaman tentang pencegahan dan pemeriksaan fraud juga perlu ditingkatkan oleh seluruh pihak, termasuk perusahaan dan masyarakat. Perusahaan dan lembaga pemerintah perlu melakukan beberapa langkah untuk meningkatkan mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap tindakan fraud, seperti membuat kebijakan dan prosedur yang jelas, menerapkan prinsip pemisahan tugas, melakukan pemeriksaan dan audit secara teratur, melakukan pelatihan dan sosialisasi, menerapkan whistleblower policy, dan menggunakan teknologi keamanan. Kasus fraud menunjukkan bahwa tindakan fraud dapat merusak reputasi perusahaan atau lembaga pemerintah, mengancam keberlangsungan bisnis, dan merugikan banyak orang. Oleh karena itu, perusahaan dan lembaga pemerintah harus selalu meningkatkan mekanisme pengawasan dan kontrol mereka untuk menghindari tindakan fraud, serta meningkatkan kesadaran dan pemahaman seluruh karyawan dan masyarakat terkait pencegahan dan deteksi fraud.