Saturday , 20 May 2024
Nasional

SINERGI PENGELOLAAN PENERIMAAN MIGAS DI INDONESIA

  • February 10, 2025
  • 0

Sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) pernah menjadi andalan utama dan primadona bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak terjadinya booming kenaikan harga minyak dunia pada era

Share:
SINERGI PENGELOLAAN PENERIMAAN MIGAS DI INDONESIA

Sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) pernah menjadi andalan utama dan primadona bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sejak terjadinya booming kenaikan harga minyak dunia pada era tahun 1970-an. Pada saat negara kita mengadopsi program Pembangunan Lima Tahunan (Pelita) yang dimulai sejak 1969/1970 s.d. 1973/1974 (Pelita I), sektor ini mulai mendominasi sejak Pelita II (1974/1975 s.d. 1978/1979) hingga Pelita V (1989/1990 s.d. 1993/1994). Tercatat dalam periode tersebut, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas mengungguli realisasi penerimaan perpajakan, di mana puncaknya terjadi pada Pelita III yang mencapai 71 persen dari total pendapatan negara. Kontribusi tersebut belum memperhitungkan penerimaan perpajakan dari sektor migas. Apabila sumbangsih pajak dari sektor hulu migas diperhitungkan, terjadi sebuah ketimpangan yang kian mencolok antara sektor migas dan nonmigas pada era tersebut.
Euphoria industri hulu migas di Indonesia sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, terutama kemampuan reserve dan harga. Dari sisi cadangan migas, terjadi kecenderungan penurunan lifting migas yang disumbangkan oleh industri emas hitam ini. Dari produksi harian yang pernah mencapai 1,5 juta barel per hari, terus- menerus tergerus hingga di kisaran 800 ribu barel per hari. Hal ini antara lain seiring dengan belum ditemukannya lagi sumur migas baru dan adanya paket kebijakan migas yang dirasakan oleh sebagian pelaku industri (kontraktor migas) yang justru dinilai memberikan disincentive factor. Menurunnya lifting berdam- pak langsung pada pencapaian target penerimaan migas baik dalam bentuk pajak maupun PNBP. Faktor berikutnya yang sulit dikendalikan adalah dinamika harga minyak dunia yang cenderung fluktuatif dan unpredictable. Pergerakan harga minyak dunia menjadi benchmark volatilitas harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price-ICP). Pernah menembus angka hingga USD140 per barel pada tahun 2008, ICP kini seakan nyaman bertengger di bawah USD50 per barel. Indikator ekonomi makro untuk penerimaan migas yang underperformed tersebut pada akhirnya berdampak pula pada besaran bagi hasil migas untuk daerah.
Terlepas dari pesona industri migas yang mungkin dirasakan mulai memudar, sektor ini senantiasa menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir ini. Public concern tersebut dimulai dari adanya perdebatan mengenai mekanisme costrecoverydalamkontrakbagihasilhinggabentukkebijakaninsentiffiskalyang perludirumuskanagarsektormigastetapattractivebagiinvestorasing.Munculnya ketertarikan masyarakat terhadap industri ini bisa jadi karena sektor migas di ta- nah air memiliki atribut yang unik dibandingkan dengan negara lain. Keunikan tersebut antara lain terlihat dari potensi cadangan migas di tanah air yang secara umum berada pada cekungan marjinal. Hal ini berkorelasi langsung pada kebu- tuhan pendanaan untuk investasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan negara-negara produsen migas lainnya (Wibowo, 2017). Investasi yang sarat de- ngan risiko, itulah gambaran umum yang bisa ditangkap dari sektor hulu migas. Pudyantoro (2013) mengungkapkan bahwa yang dapat dipastikan dari kegiatan hulu migas adalah ketidakpastian menemukan cadangan yang berdampak pada proses bisnis. Semakin tinggi tingkat ketidakpastian dimaksud, semakin tinggi pula probabilitas investor tidak memperoleh return yang dikehendaki.
Tingginya tingkat kegagalan dalam memperoleh cadangan migas komersial mendorong Pemerintah berpikir keras untuk membuat kegiatan hulu migas di ta- nahairtetapmenjanjikanbagicaloninvestor.Salahsatuupayayangselamainitelah ditempuh Pemerintah adalah dengan menawarkan dua benefit di dalam kontrak kerja sama migas yakni biaya penggantian (cost recovery) dan pembebasan/pe- nanggungan (assume and discharge) perpajakan tidak langsung (indirect tax) dari sektor migas. Cost recovery pada prinsipnya merupakan biaya produksi migas yang dikeluarkanolehperusahaanmigasatauKontraktorKontrakKerjaSama(KKKS). Biaya produksi tersebut akan diganti oleh Pemerintah apabila KKKS berhasil me- nemukan cadangan migas yang bernilai ekonomis. Cost recovery diberikan dalam bentuk in-kind dan diambilkan dari lifting migas yang dihasilkan dalam suatu su- murmigas.Dengankatalain,pembayarancostrecoverytidakmelaluipenyelesaian tunai sebagaimana kewajiban Pemerintah pada umumnya. Sebaliknya, apabila KKKStidakberhasilmenemukancadanganmigasyangbernilaiekonomisselama masa eksplorasi (6 tahun dan dapat diperpanjang hingga 10 tahun), Pemerintah tidakberkewajibanmengembalikanbiayayangdikeluarkanolehkontraktormigas (Wibowo, 2017). Oleh karena itu, Pemerintah tidak menanggung exposure APBN terkait kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas (Volta dan Kafabih, 2015). Disampingketiadaandampakfiskalsecaralangsung,pilihanatasmodelPSCdengan mekanisme cost recovery tetap menjadi pilihan pertama Pemerintah dalam bebe- rapa tahun belakangan karena tetap mensyaratkan Pemerintah selaku tuan rumah mempunyai kewenangan manajemen (Lubiantara, 2012).
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pendapatan negara didefinisikan sebagai hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Adapun pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa pendapatan negara terdiri atas penerimaan pa- jak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap hak negara yang menambah ekuitas hanya dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok pendapatan di atas.
UU Nomor 20 Tahun 1997 menjelaskan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak pada prinsipnya merupakan seluruh penerimaan Pemerintah Pusat di luar perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU 17/2003, terdapat hal yang perlu dikompromikan terkait hibah. Hibah dikelompokkan sebagai PNBP menurut UU PNBP, namun lain halnya dengan klasifikasi APBN dalam UU keuangan negara yang menempatkan hibah sebagai kelompok pendapatan negara yang terpisah dari PNBP. Oleh karena itu, menurut penulis, PNBP dapat diartikan sebagai pene- rimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari perpajakan dan hibah.
Sesuai ketentuan UU PNBP, instansi Pemerintah pada prinsipnya dapat mela- kukanpengelolaanPNBPsepanjangditunjukolehMenteriKeuangan.Disisilain, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara secara prinsip mengatur bahwa Kementerian Negara/lembaga (K/L) sela- ku pengguna anggaran/barang merupakan instansi Pemerintah yang memperoleh amanat untuk memungut dan mengintensifkan pendapatan negara yang dikelola, dalam hal ini PNBP. Dalam hal ini kita perlu mengkompromikan kembali keten- tuan di dalam UU PNBP dengan UU di bidang keuangan negara. Kewenangan instansi Pemerintah Pusat untuk mengelola PNBP, menurut UU PNBP, berasal daripenunjukanolehMenteriKeuangan.AdapunkewenanganpengelolaanPNBP menurut UU 17/2003 dan UU 1/2004 melekat langsung dalam instansi K/L yang berperan sebagai pengguna anggaran/barang. Fakta yang dihadapi saat ini adalah tidak ada surat penunjukan dari Menteri Keuangan kepada K/L untuk mengelola jenis PNBP tertentu. Pengesahan K/L selaku instansi pengguna PNBP dicerminkan dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur jenis dan tarif PNBP pada K/L tertentu. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, penulis sependapat dengan UU Keuangan Negara yang menyatakan K/L selaku pengguna anggaran/barang dapat ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP.
Selanjutnya, sesuai ketentuan UU PNBP, jenis pendapatan negara yang dapat dipungut oleh instansi Pemerintah Pusat adalah PNBP yang diamanatkan di da- lam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah. Demikian juga besaran tarif PNBP harus ditetapkan pula di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Tidaklah meng- herankan bahwa kita jumpai saat ini puluhan PP yang mengatur jenis dan tarif atas jenisPNBPyangberlakudisuatuK/Ltertentu.Minimal,satuK/LpengelolaPNBP akan memiliki PP yang akan dijadikan sebagai landasan hukum yang sah dalam pemungutan PNBP kepada masyarakat.
Keunikan PNBP yang tidak dijumpai dalam jenis pendapatan negara yang lain adalah dimungkinkannya penggunaan sebagian dana PNBP oleh instansi pe- mungut. Penggunaan PNBP tersebut didedikasikan untuk mendukung kegiatan pengelolaanPNBP,khususnyauntuk:(a)penelitiandanpengembanganteknologi; (b) pelayanan kesehatan; (c) pendidikan dan pelatihan; (d) penegakan hukum; (e) pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu; dan (f) pelesta- rian sumber daya alam. Kelompok kegiatan tersebut merupakan kelompok besar penghasil PNBP sebelum diundangkannya UU PNBP sekaligus merepresentasikan tugasdanfungsiinstansipengelolaPNBPpadasaatitu.Adanyakebijakanpenggu- naan PNBP ini, diduga menjadi salah satu motivasi kuat bagi K/L untuk menjadi salah satu instansi pengelola PNBP.
Berdasarkan ketentuan di atas, penulis menyimpulkan bahwa K/L pada prin- sipnya dapat ditetapkan sebagai instansi pengelola PNBP sepanjang:
a. Memperoleh pendanaan APBN;
b. Sesuai dengan tugas dan fungsinya;
c. Jenis PNBP diamanatkan dalam UU atau PP;
d. Tarif atas jenis PNBP ditetapkan dalam PP.
Hak negara yang berupa PNBP dari sektor hulu migas dinyatakan secara je-
las di dalam Pasal 31 ayat (3) UU Migas, yakni terdiri dari (i) bagian negara, (ii) pungutan negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan eksploitasi, dan (iii) bonus-bonus. Penerimaan negara yang berasal dari volume lifting migas pada prinsipnya merupakan bagian negara. Di dalam penjelasan Pasal 31 ayat (3) dinyatakan bahwa bagian negara merupakan bagian produksi yang diserahkan oleh badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) kepada negara sebagai pemilik sumberdayaminyakdangasbumi.DidalamposturAPBNyangdikeluarkansetiap tahun melalui UU, penerimaan migas yang dilaporkan dalam APBN terdiri dari:
a. Pendapatan sumber daya alam, yang terdiri dari pendapatan minyak bumi dan gas bumi.
281
Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian negara setelah dikurangi terlebih dahulu dengan kewajiban Pemerintah sektor migas berupa indirect taxes dan fee kegiatan usaha hulu migas.
b. PNBP Lainnya.
Pendapatan ini berasal antara lain berasal dari penerimaan bonus-bonus hulu
migas, transfer material, pemanfaatan aset KKKS, dan firm commitment.
Namun demikian, terdapat pengaturan yang sedikit berbeda di dalam UU PNBP yang dapat menimbulkan persepsi bahwa bagian negara dari kegiatan usaha hulumigasbukanmerupakanPNBP.Didalampenjelasanpasal2hurufbUUPNBP dinyatakan bahwa khusus penerimaan dari minyak dan gas bumi walaupun sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara terdapat unsur royalti, namun karena di dalamnya terkandung banyak unsur-unsur perpajakan, maka penerimaan yang merupakan bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Unsur perpajakan yang dimaksud di sini adalah indirect tax yang merupakan jenis pajak yang dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah (assume and discharge) sesuai ketentuan PSC. Penerimaan negara yang di dalam- nya masih terdapat unsur kewajiban Pemerintah sektor migas untuk dibayarkan kepada pihak lain sering dikenal dengan istilah penerimaan migas (Direktorat Jenderal Anggaran, 2010).
Ketidaksinkronan peraturan tersebut barangkali yang menyebabkan hingga sekarang belum ada PP yang menetapkan jenis dan tarif atas jenis PNBP dari kegiatan usaha hulu migas yang berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian negara. Saat ini, PP yang berlaku untuk mengatur salah satu jenis PNBP hulu migas adalah PP Nomor 9 Tahun 2012 yang mengatur jenis dan tarif atas jenis PNBP pada KESDM. Di dalam PP tersebut, jenis PNBP yang ditetapkan berada di bawah ke- wenangan KESDM, antara lain berupa bonus tanda tangan (signature bonus) dan komitmenkewajibanpasti(firmcommitment).AdapunjenisPNBPdarikelompok sumberdayaalamsebagaimanadinyatakandalamposturAPBN,belumdipayungi dengan PP jenis dan tarif.
PNBP migas yang berasal dari hasil penjualan lifting migas bagian negara (PNBP SDA Migas) secara yuridis belum memperoleh penetapan dalam bentuk PP sebagaimana jenis PNBP yang dikelola oleh K/L pada umumnya. Untuk ke- perluanpertanggungjawabanpengelolaanPNBPSDAMigas,Pemerintahmelalui KementerianKeuangantelahmenunjukDirektoratJenderalAnggaran(DJA)selaku unit akuntansi. Penunjukan tersebut pertama kali dinyatakan dalam PMK Nomor 171/PMK.05/2007 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan PMK Nomor 213/PMK.05/2013, yang mengatur sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Pemerintah Pusat. Pengelolaan PNBP SDA Migas ditetapkan di dalam satuan kerja Bendahara Umum Negara (BUN) Bagian Anggaran Transaksi Khusus. Dengan demikian, PNBP SDA Migas untuk saat ini dapat dikatakan ‘dimiliki’ oleh Kementerian Keuangan dalam kapasitas selaku BUN.
Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan mengenai hubungan an- tara satu pihak dengan pihak lain baik yang mempunyai kesamaan kepentingan maupun tidak. Teori dimaksud adalah teori stewardship dan teori keagenan. Adapun teori lain yang sering dikaitkan dengan perilaku organisasi adalah teori institusional.
Teori stewardship menjelaskan bahwa manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu melainkan lebih ditujukan pada sasaran hasil utama me- reka untuk kepentingan organisasi (Donaldson, 1989; Davis, 1991). Adapun teori keagenan pada prinsipnya bertolak belakang dengan teori stewardship.
Teoristewardshipdapatditerapkandisektorpublik.HalinikarenaPemerintah selakustewardmemilikifungsipengelolasumberdayadanrakyatselakuprincipal merupakan pemilik sumber daya. Raharjo (2007) menjelaskan bahwa timbulnya kesepakatan yang terjalin antara Pemerintah (steward) dan rakyat (principal) berdasarkan kepercayaan kolektif yang sesuai tujuan organisasi, akan berdam- pak pada pelayanan kepada publik dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *